SEJARAH SANGGAR 'ANTIKA BUDAYA'
Pemilik dari
usaha ini adalah seorang laki-laki yang bernama Soekarjo dan istrinya. Mereka biasa dipanggil dengan sebutan Pak
Karjo dan Bu Karjo. Pada awal sebelum
dibentuknya sanggar ini, Pak Karjo yang awalnya seorang wayangan atau lakon di
sebuah pertunjukan ketoprak ini sering melakukan latihan-latihan dengan para
anggotanya. Selain itu pada tahun 1982,
terdapat pengumuman dari Radio Ferita bahwa akan diadakan Festival Lomba sendra
tari Jawa se-Semarang. Pak Karjo yang
ingin mengikuti lomba tersebut mencoba untuk mengumpulkan orang-orang dan
berlatih untuk dapat mengikutinya.
Mereka berlatih menumpang di gedung Akpari di daerah taman Pekunden
Semarang.
Tetapi, ada
berita buruk yang disampaikan pada beberapa hari sebelum lomba. Berita buruknya adalah pembatalan Lomba
Sendra Tari dari pihak panitia.
Mengetahui hal itu, Pak Karjo dan kawan-kawan tidak langsung patah
semangat. Pak Karjo malah memiliki
inisiatif untuk membuka Sanggar dengan dasar sudah terkumpulnya para anggota. Pak Karjo dan kawan-kawan mulai melakukan
latihan rutin tanpa mengantongi ijin usaha.
Latihan tersebut berlangsung sampai beberapa tahun.
Dalam usaha
Pak Karjo untuk mendirikan Sanggar, beliau juga diharuskan ijin kepada Dewan
Kesenian Pendidikan dan Kebudayaan kota Semarang. Ijin tidak serta merta diberikan kepada Pak
Karjo. Beliau diminta untuk membuat Sendra
Tari sebagai syarat perijinan untuk mendirikan Sanggar. Saat itu, pasangan suami-istri ini
mengupayakan terbentuknya Sendra Tari agar mereka mendapatkan ijin tersebut dan
pada akhirnya Sendra Tari telah berhasil di persembahkan. Sendra Tari tersebut merupakan Sendra Tari
pertama yang di persembahkan dari Sanggar tersebut. Sendra Tari tersebut berjudul ‘Cut Meutia’ yang bertempatkan di Wisma
Pancasila.
Pada tahun
1986, ijin dari Dinas Kesenian Pendidikan dan Kebudayaan kota Semarang
diberikan kepada Pak Karjo. Nama dari
Sanggar ini adalah Sanggar Antika Budaya.
Sanggar ini merupakan pioneer di kota Semarang. Dalam perkembangannya sampai sekarang,
sanggar ini mengalami banyak perubahan.
Mulai dari tempat latihan yang selalu berubah-ubah, banyaknya
murid-murid yang keluar masuk sanggar tersebut hingga sanggar yang hampir mati
sudah dilalui oleh pasangan wirausahawan ini.
Usaha ini pun tidak menjadi
usaha pokok pasangan suami-istri ini.
Usaha ini hanya sebagai penyaluran minat bakat mereka dan juga
pelestarian budaya Jawa di kota Semarang ini agar tidak punah. Pekerjaan pokok mereka adalah menjadi seorang
guru honorer yang mengajar ekstrakulikuler tari hampir di seluruh TK, SD, SMP,
dan SMA di kota Semarang.
0 komentar:
Posting Komentar